Senin, 05 Januari
2015
Episode 1
Udara kota Bandar
Lampung pagi ini terasa lebih dingin dari biasanya, maklum saja mulai dini hari
tadi hujan dan baru berhenti jam 6.15 pagi. Meski sudah pake jaket tetap saja
udara yang dingin bikin tubuh menggigil. Seandainya hari ini nggak ada kuis mungkin
aku lebih memilih tetap dalam selimut di atas tempat tidur yang empuk, hehe.
Ricko! Semangat!
Sip.
Namanya juga
perjuangan menuntut ilmu, semoga aja niat belum berubah, zaman sekarang yang
dicari ijazah, bukan ilmu, meski tidak semuanya begitu. Aku harus masuk kelas
dan menjawab kuis dengan benar, banyak yang aku pertaruhkan. Kalau sampe nilai
jelek lagi hari ini, pupus sudah harapan ambil konsentrasi hukum tata negara,
hemm sudah dosenya jutek, pelit juga sama nilai. Kuis minggu lalu cuma beda dikit
udah dicoret semua, menurutku cuma dikit bedanya, pertanyaan tentang lembaga
mana yang berwenang mengawasi hakim, dengan sangat percaya diri aku jawab
Komisi Yudisial, ternyata jawaban yang benar Mahkamah Agung, Bu Yenita, dosen
yang mengampuh mata kuliah itu hanya tersenyum sinis melihat jawabanku. sangat
ironi memang, pertanyaan yang tidak butuh nalar dan penjelasan, hanya
menyebutkan nama lembaganya saja justru aku salah menjawabnya.
"kalau Komisi Yudisial wewenangnya mengawasi perilaku hakim yang berkaitan dengan etik. Secara umum yang punya wewenang mengawasi para hakim adalah Mahkamah Agung." Jelas Bu Yenita di depan kelas, ya seperti penjelasan pada umumnya, hanya saja ketika menjelaskan matanya tertuju pada muka ku, hemm sindiran terbuka yang lumayan memalukan. Kan cuma sedikit aja bedanya, meskipun secara substantif akan sangat berbeda, hehehehe.
Motor matik yang
yang aku kendarai di tengah dinginnya udara melaju lumayan cukup cepat,
mengingat jalan agak lengang, biasanya butuh waktu setengah jam dari rumah
menuju kampus, itupun bila tidak banyak angkot yang berhenti semaunya. Tidak
terasa sudah sampe simpang jalan Way Halim, meski jalanan masih sepi dan basah
trafic light tetap normal seperti biasanya, beberapa kendaraan yang melintas
trfic light kelihatannya tidak terlalu memperdulikan warna lampu apa yang
menyala, semua terobos saja, tentu aku tidak ikut-ikutan, sebagai mahasiswa
fakultas hukum sepertinya kurang pas saja menerobos pada saat lampu merah
menyala, selain itu aku tidak terburu-buru juga. Beberapa puluh meter di depan,
kampus Universitas Bandar Lampung tampak menjulang tinggi dan bersih, karena
baru mandi semalaman. Tapi bukan kampus itu tujuanku, masih lumayan tiga kiloan
lagi.
Jalan ini lumayan
sepi meskipun jalan utama kota, bikin tambah nyaman ngegas motor kesayangan ku
ini. Butuh beberapa menit, akhirnya sampe juga di kampusku yang tepat
bersebelahan dengan terminal Rajabasa. Ya, mungkin sudah banyak yang mendengar
nama terminal itu. Hampir pasti semua yang mengunjungi pulau Sumatera melalui
jalur darat akan melintas di terminal Rajabasa. Konon terminal Rajabasa adalah
terminal paling angker dan ditakuti. Meskipun menurutku sih biasa-biasa saja.
Jadi ingat waktu masih SMA di semarang dulu, ada temanku dari Bali menceritakan
angkernya terminal Rajabasa, menurut ceritanya semua preman terkemuka kumpul di
terminal itu, aku hanya tertawa saja mendengarnya. hemm.
Gerbang Universitas
Lampung agak masuk beberapa ratus meter dari jalan utama, jalan Zainal Abidin
Pagar Alam. Gedung Fakultas MIPA akan menyambut setiap mahasiswa yang baru
datang, maklum letaknya paling depan. Tapi aku bukan anak MIPA, aku anak Hukum,
yang berkutat dengan undang-undang dan aturan-aturan, yang kadang bikin bingung
sangking banyaknya. Tapi bukan berarti mahasiswa hukum nggak ada yang melanggar
aturan, menurutku melanggar aturan adalah tabiat manusia. Sifatnya personal,
dan tidak ada korelasinya sama bidang yang dipelajarinya, buktinya banyak juga
yang tersandung kasus korupsi padahal di belakang namanya tercantum gelar
Sarjana Hukum.
Kuparkirkan motor
di parkiran, letaknya persis di samping gedung C. Pagi ini kampus sudah lumayan
rame, motor dan mobil bergantian melewati jalanan dalam kampus yang rindang,
dengan banyak pepohonan yang menjaga suhu udara tetap sejuk. Kalau siang hari
dengan udara yang terik dan panas, pohon-pohon ini adalah tempat yang paling
nyaman untuk berteduh, tapi kalau pagi hari habis hujan begini, justru
pohon-pohon ini membuat udara semakin dingin saja.
“Udah siap kuis
rick” sapa cowok yang memarkirkan motornya beberapa meter dari tempatku, Ardi
namanya. Teman satu kelas, sama-sama semester 3.
“Oh, kamu di.
Hemmm, siap banget sih enggak, tapi dibilang belum siap juga nggak. so, pede
aja” jawabku sambil tersenyum, aku tidak terlalu akrab dengan Ardi, hanya
saling menyapa ala kadarnya saja.
“Hahahaha, gaya lu.
Dari dulu galau. Kapan ada jawaban yang pasti. Kasian si Nike nunggu-nunggu
tuh.” komentar Ardi dengan sedikit tertawa sinis.
“Apa kaitannya Nike
sama galau” tanyaku penasaran.
“Yaelah ni anak,
gak usah pura-pura lah. Lu sama Nike kan udah deket, dari Ospek kalau gak
salah. Sekarang udah setahun lebih, status Nike belum jelas tuh. Kasian cewek
jangan digantung. Kalau lu suka sama dia, tembak aja bro, kelihatannya sinyal
dari Nike sudah jelas, pasti diterima.” saran Ardi, tapi menurutku itu mirip
pemaksaan, huft!
Anak ini agak aneh,
masih pagi sudah ngomongin yang berat dan serius, lagian ngapain dia ngurus
urusanku, itukan masalah pribadi. Jangan-jangan dia yang suka sama Nike? Dasar.
“Hemmmmm.... emang
kenapa? apa kamu juga suka sama Nike, kok nyuruh aku ngasih kepastian? kamu
nggak ngantrikan di belakangku?” aku balik bertanya sambil bercanda.
“Gak lah. Diakan
udah jadi gebetan lu. Gue bukan pagar yang makan tanaman bro, gue cuma mo
ngasih tau aja, kalau lu suka sama dia lu ungkapin aja, biar semuanya pasti,
gak ada yang digantung. cuma itu aja. Gue duluan ya.” kilah Ardi menutup
pembicaraan dengan terburu-buru, padahal aku belum sempat mengulik motifnya
bicara begitu, terserahlah.
Yang pasti mukanya
sedikit berubah setelah menjawab pertanyaanku tadi. Lagian ngapain juga dia
pake minta aku ngasih kepastian sama Nike, pake nyuruh-nyuruh lagi. Ardi kan
bukan ayahku, cuma sekedar teman sekelas. Dia juga bukan teman akrab Nike, ya
aku tahu lah siapa-siapa aja teman dekat Nike. Akukan orang yang paling dekat
sama Nike. Tapi memang kalau dipikir-pikir Ardi memang sering sok akrab sama
Nike, atau memang dia suka sama Nike? Makanya dia minta aku ngasih kepastian.
Tapi kan kalau dia suka sama Nike, dia bisa langsung sampaikan aja ke orangnya.
Kenapa mesti melibatkanku? Apa Nike menolaknya? Atau Nike masih nunggu
kepastian dariku? kelihatannya si Ardi ini yang merasa digantung sama Nike,
bisa saja Nike masih nunggu aku nembak dia.
Hahahaha, pede
amat. Nike adalah gadis cantik, smart dan kaya. Dengan penampilan fisik yang
memang sudah cantik, ditambah lagi tajir, tentu tambah menunjang penampilannya.
Selain itu dia cewek yang cerdas, hampir semua nilainya A, meski ada juga sih
yang dapet B. Tapi dari caranya bicara ketika diskusi, sudah membuktikan dia
cewek yang smart. Modal utama kuliah di hukum memang itu, harus pandai bicara
dan mengolah otak agar yang disampaikan berbobot, sistematis dan logis,
meskipun sebagian ada juga yang beranggapan justru itu nggak penting. Aku
sendiri berpendapat pengetahuan itu tidak sebatas hafalan saja, tetapi harus
mampu mengaplikasikanya, berbicara merupakan salah satu hal yang penting dalam
mengaplikasikan pengetahuan, terutama tentang hukum. Bisa aku bayangkan seorang
jaksa atau pengacara tidak pede berbicara, jadi waktu sidang gimana jadinya?
susah menilainya,,,, tapi sepertinya nggak pas saja bagi mahasiswa hukum nggak
pede bicara.
Nike yang cantik,
memang idola. Dengan reputasinya itu Nike adalah idola kampus, bukan sekedar
idola kelas ku saja, tapi kenapa aku tidak punya perasaan spesial sama Nike?
Apakah karena dia bukan tipeku? Kok malah mikirin Nike, seharusnya aku fokus
dengan kuis yang sudah ada di depan mata. ini gara-gara Ardi nih, ngilangin
konsentrasiku saja.
“Ricko!” panggil
salah seorang cewek berambut keriting. Apa yang bikin anak ini lari-lari
dari tangga buru-buru begitu, pake teriak-teriak pula, tanpa teriak juga
suaranya sudah bisa terdengar kok.
“Oh, hai Renita.
Ada apa?” aku membalasnya sambil senyum, memang suaranya keras karena
anak ini aslinya orang Batak, tapi hatinya lembut kok, jadi aku juga harus
lembut menanggapinya.
“Kata teman-teman
bu Yenita tak masuk. Jadi kuisnya diundur” ucapnya dengan volume suara yang
masih sama.
“Oh gitu, jadi kita
hari ini libur dong?” tanyaku lagi.
“Ya kayaknya, kan
Cuma satu mata kuliah, oh ya, tadi kau dicari Nike, katanya ada yang penting
sih.” Renita memberitahuku.
“Oh, emang Nike
dimana?”
“Tadi dia ada di
kelas, sekarang mungkin ada di rerktorat, dia bilang mau ke sana. Aku cuma mau
bilang itu saja, sedang buru-buru, dari tadi ku tunggu kau, lama kali kau
sampai." tambah Renita.
Sesaat aku diam,
sedang mikirin Nike, dia mencariku? Padahal hampir tiap kuliah kami ketemu,
nggak biasanya dia begitu, sampe minta tolong Renita nyamperin aku begini,
sepertinya ada hal yang benar-benar penting.
"Kalian harus
bicaralah, demi hubungan kalian berdua juga, itu aja pesanku. Pokoknya kau
temui dulu dia. Ok? Aku pulang duluan ya, aku ada janji soalnya.”
tambah Renita sambil tersenyum penuh arti. Dia membalikkan badannya dan
hilang di keramaian mahasiswa lainnya.
Senyuman Renita
mengisyaratkan bahwa dia mendukungku buat jadian sama Nike. Renita adalah
sahabat Nike, sekaligus temanku. beberapa waktu lalu dia sempat cerita tentang
perhatian Nike padaku, sekaligus menyingung tentang sifatku yang cuek dan
dingin, sebenarnya bukan cuek dan dingin, hanya saja tidak ada perasaan yang
spesial selain pertemanan.
Aku duduk sejenak
di lobi gedung belajar di samping etalase pengumuman, beberapa mahasiswa lewat
dan tersenyum, aku tidak terlalu peduli. Sekali lagi Nike menjadi pikiran yang
mengusikku. Nike yang sempurna, bagi banyak cowok, pasti dengan senang hati
bersedia jadi pacar Nike, seperti kata Wendi, mahasiswa FKIP, temanku waktu
Bansos:
“.. hanya cowok gak normal yang tidak suka sama Nike..”
Hahaha, aku tertawa
dalam hati apa benar aku cowok tidak normal? jangan-jangan Wendy sengaja
nyindir aku. Memang aku sekarang sedang jomblo, tapi waktu semester satu dan
dua aku punya beberapa cewek kok, cantik-cantik juga. Ya, meskipun hanya untuk
beberapa bulan sih. Tapi sejujurnya aku tidak tau apakah itu murni cinta
ataukah itu hanya pelampiasan? Pelampiasan atas apa? Ataukah itu cuma kamuflase
agar aku nyaman berteman dengan teman-temanku? kan gengsi juga sudah kuliah
masih jomblo.
Kalau bicara cinta, aku pernah merasakannya saat aku sekolah dulu, ya, aku pernah pacaran waktu sekolah. Aku selalu memikirkan pacarku, maunya selalu ketemu, pisah beberapa jam saja, sudah rindu lagi. Malam juga kepikiran dia, pokoknya apapun yang aku lakukan dia selalu ada di pikiranku, aku nyaman ada di sampingnya, kami ngobrol tentang banyak hal, satu jam, dua jam, tiga jam terasa sangat singkat, ada-ada saja tema yang bisa jadi obrolan, mulai hal-hal kecil seperti kehilangan sendal, kehilangan kunci lemari, guru yang pemarah, tugas yang menumpuk, semua jadi bahan obrolan yang menarik. Pokoknya susah untuk digambarkan, aku sendiri menafsirkan bahwa perasaan itulah yang aku sebut CINTA, tapi perasaan itu tidak muncul ketika aku pacaraan selama kuliah, hanya identitasnya saja, begitu juga dengan Nike, aku nyaman berasamanya, hanya sebatas teman, tidak lebih.
“Rick, lu tuh
cakep, smart dan suka senyum, senyum lu itu loh yang bikit gak tahan. Jangan
heran banyak cewek yang suka sama lu.” Itu komentar teman-temanku dulu
waktu baru kuliah.
Kalau omongan
teman-temanku yang jadi alasanku buat punya cewek, bisa dikatakan itu hanya
iseng saja. Aduh, betapa memalukan dan nistanya diriku, menyakiti perasaan
cewek, menjadi pacarnya hanya karena keisengan saja, bahkan hanya sebagai alat
berkamuflase, kadang ku pikir perbuatanku benar-benar tidak bisa dimaafkan,
tapi kalau harus jujur aku juga nggak tau gimana.
Meski begitu,
hubunganku dengan beberapa cewek tidak terlalu buruk, dan mereka juga happy.
Gak banyak masalah, aku bukan tipe cowok protektif, hasilnya pacarku
beranggapan aku gak perhatian. Memang aku nggak terlalu paham jalan pikiran
wanita, terlalu protektif salah, nggak protektif dianggap nggak perhatian.
Huft. Lalu apakah aku jalani saja sama Nike seperti yang sudah-sudah?
Ini masalah perasaan, aku memang ingin agar rasa cinta seperti masa-masa sekolah dulu bisa tumbuh lagi saat ini, aku sudah beberapa kali pacaran selama kuliah, tapi emosi yang aku rasakan berbeda ketika sekolah dulu, sebenarnya aku sudah tau yang membuatnya berbeda, kenapa perasaan itu tidak muncul, aku sudah menguburnya bersama masa laluku... bahwa waktu sekolah dulu, pacarku seorang COWOK.
Ya, aku pacaran
dengan seorang cowok. Apakah aku seorang gay? seorang yang mencintai sesama
jenis? aku sendiri belum bisa memastikannya, itu adalah masa lalu, ya umurku
baru 15 tahun saat itu, dan aku bersekolah di sekolah asrama dimana semua
siswanya cowok, dua puluh empat jam kami saling berinteraksi, tujuh hari
seminggu, tanpa melihat seorang perempuan pun, kecuali mbok dapur, jadi bisa
dikatakan itu hanya masalah lingkungan dan pergaulan saja, buktinya banyak
alumni sekolah itu yang tamat dan hidup "normal" seperti keluarga
lainnya. Banyak informasi yang beredar di sekolah itu yang mengatakan bahwa
bila sudah tamat dan berbaur dengan masayarakat yang heterogen nantinya akan
berjalan seperti biasa lagi.
Tapi apakah itu
sudah bisa dipastikan? entahlah, perlu kajian dan penelitian ilmiah menurutku,
agar kesimpulannya dapat dipertanggungjawabkan. Yang pasti, aku pernah pacaran
sama cowok waktu sekolah, dan ketika tamat lalu kuliah di Universitas Lampung,
aku pacaran sama cewek, namun perasaanku mengatakan bahwa masa pacaran ketika
di sekolah dulu lebih indah dan lebih dalam. Bahkan, saat ini aku lebih
tertarik melihat cowok ganteng ketimbang cewek cantik.
Apakah aku seorang
homoseksual? kelihatannya waktu lah yang akan menunjukkan jati diriku, yang
jelas aku tidak punya perasaan cinta itu lagi, baik sama cowok maupun cewek,
perasaan cinta itu sudah dibawa oleh pacarku waktu sekolah, seorang laki-laki
tampan, berkulit putih dengan rambut lurus, ya, sampai sekarang dia masih
sering mampir dan nongol dalam mimpiku. Waktu yang telah memisahkan kami,
keadaan, peraturan, dan kehidupan nyata yang menyadarkan kami, bahwa kami masih
terlalu kecil untuk memahaminya. Dan ketika waktu itu menentukannya, aku telah
mengambil jalanku, dan dia mengambil jalannya.
Selama ini aku
sudah mencoba menguburnya, mengganggap itu hanyalah bagian yang pasti dihadapi
oleh siswa-siswa yang pernah tinggal di sekolah asrama, sama halnya pernyakit
gatal-gatal yang biasanya hampir dirasakan oleh seluruh santri-santri
pesantren, sebagian besar maksudku. Penyakit itu akan hilang dengan sendirinya.
Bukan maksudku menganggap kebiasaan itu penyakit, tentu tidak. Kehidupan di
luar sekolah itu adalah kehidupan sebenarnya, dimana aku harus hidup seperti
orang lain pada umumnya, tapi masalah perasaan, sulit untuk mengaturnya. Aku
pacaran dengan beberapa cewek tapi perasaanku tidak utuh, apakah aku akan
melakukannya lagi dengan Nike?
Oh God, jangan lagi! Aku tak akan
melakukannya sama Nike, dia adalah sahabatku. Ya bukan hanya sahabat, lebih
dari itu, Nike adalah sahabat terbaik. Aku tidak boleh menyakitinya, sebaiknya
aku jujur saja padanya tentang perasaanku. Tapi bagaimana aku memulainya?
Dengan mengatakan bahwa aku pernah pacaran sama cowok? Dan aku lebih nyaman
sama cowok? Kelihatannya itu harus aku tanyakan pada diriku sendiri, apakah
hatiku yang paling jujur mengatakan bahwa aku adalah gay? apakah perasaanku
dulu hanyalah pengaruh lingkunganku saja?
Tapi sejujurnya
ketika aku pacaran di sekolah dulu, meskipun dengan cowok, semua mengalir penuh
ketulusan, kasih sayang dari hati, kerinduan yang timbul dengan penuh
keikhlasan. Aku bingung, setidaknya aku harus memutuskan, untuk berbicara sama
Nike tentang masa lalu yang telah aku kubur itu, tidak ada yang perlu
disembunyikan, semua harus aku ungkap, setidaknya mengurangi sedikit bebanku,
karena aku sendiri tidak tau apa yang harus aku lakukan saat ini.
Ku keluarkan HP
dari kantong dan ku ketik sms ke Nike,
“Ke, kamu dmn?
Ada waktu gak?” kukirim smsku.
Beberapa menit
kemudian HP ku berdering. ”sedang dijalan pulang, tadi dr rektort. Ada apa
say?”
“Ada waktu gk?
Bisa ketemuan di Artomoro nanti siang? Jam 1 kalau bisa” tanyaku lewat
sms, semoga aja dia bisa, apalagi sudah lama nggak nongkrong di sana, kali aja
ada film bagus kan sekalian bisa nonton.
Lama kutunggu sms
belum juga dibalas. Yaudah, sebaiknya aku ke parkiran dulu ambil motor. Baru
aja jalan tiba-tiba HP ku kembali berdering, ada sms yang masuk dari nomor yang
tidak aku kenal.
“Ini No k Ricko
ya? Aku Yudhi kk. Kemaren kita main tenis. Aku yang sempat pinjam raket kk”
Oh, aku ingat,
kemaren sore waktu aku main tenis, ada yang pinjam raket. Jadi namanya Yudhi
ya. Aku senyum sendiri mengingatnya. Sore itu aku sedang istirahat setelah satu
jam bermain, aku ingat anak itu sedang melakukan forehand, dan senar raketnya
putus. Jadi dia pinjam raketku. Kalau diingat-ingat lumayan cakep sih anaknya.
Ouch.. benarkan, aku lebih tertarik dengan cowok, hahaha. By The Way dia dapat
nomorku dari mana?
“Oh, Yudhi ya.
Ada apa y Yud?” balasku
Tidak lama Yudhi
membalas “Nanti sore kk latihan lg gk? Bareng aja ya”
“Oke” balasku
singkat, luman bisa cuci mata, ingat zaman dulu di sekolah hahahaha. Setidaknya
aku akan menjalani rutinitasku apa adanya, semuanya dari sekarang, mungkin akan
banyak kegamangan yang timbul, yang penting aku harus menghadapinya.
“Aku gk bisa,
ada acara keluarga”. Bunyi sms lagi, sejenak aku bingung. Loh tadi
katanya si Yudhi mau latihan bareng? Eh,,, salah, ternyata sms dari Nike, Huh!
ngarep sms yudhi kayaknya nih, siapa tau mungkin bisa tumbuh lagi perasaan yang
dulu, wait? berharap
bisa tumbuh perasaan sama Yudhi? artinya aku beneran gay dong... hehehe, liat
ajalah nanti.
***************
Aku kembali
mengubah posisi dudukku, agak kikuk juga. Nike duduk tepat di sampingku. Malam
ini tidak ada bulan, langit sedikit mendung, untung nggak hujan. Jadi inget
lagu ”hujan di malam Minggu”. Ya, malam ini adalah malam Minggu. Tapi cuma
mendung, nggak hujan. Selain itu juga kami nggak pacaran, jadi nothing special,
Teras rumah Nike
lumayan luas dengan taman bunga yang didominasi anggrek, sebagian besar anggrek
itu aku tidak tau jenisnya, apalagi namanya. Rumah ini sepi, meski malam
Minggu, karena hanya Nike anak satu-satunya dari pemilik rumah ini, karena dia
masih jomblo, jadi gak ada yang ngapel malam ini. Masih musim juga ya ngapel,
seperti zaman Siti Nurbaya aja. Memecah kebisuan aku membuka percakapan.
“Nggak ada yang mau
datangkan?” tanyaku sebiasa mungkin, supaya suasana nggak terlalu serius.
“Nggak ada. cuma
kamu sendiri. Emang kenapa?” tanya Nike, tatapan matanya tajam banget. Hemm
bikin gregetan saja, tapi malam ini memang dia sangat cantik.
“Keke, aku boleh
tanya gak. Pertanyaan serius sih.” Aku memang biasa manggil Nike dengan nama
kecilnya, Keke.
“Hem,,,, seserius
apa sih?” Nike menatapku. Aku sedikit ragu dan bingung, gak tau darimana mau
memulainya.
“Hemm,... tentang
aku....” aku mulai gugup dan berkeringat, keraguanku semakin menjadi.
Nike tidak langsung
menjawab. Dia hanya berdiri, kesunyian yang tidak nyaman kurasa.
"Tentang kamu?
emang ada apa?"
Aku menarik nafas
dalam, mencoba bersikap biasa,
"Apa kamu ada
rasa sama aku?" kata-kata itu keluar begitu saja, tanpa terpikir lagi, apa
yang sudah aku katakan. Benar-benar memalukan.
"Maksudmu?
katanya mau cerita tentang kamu, kok malah nanya begitu? kamu mau ngerjain aku
ya?" dengan senyuman getir Nike membalas pertanyaan anehku tadi, hemmm,
inilah mengapa aku tidak boleh menyakiti perasaannya, dia terlalu baik, tapi
beban dalam hatiku sudah tidak mampu dikontrol,
"Aku tidak
bisa membalas cintamu ke, aku tidak bisa, karena ...... kamu sahabatku."
kembali kata-kata yang pahit itu keluar, apa yang terjadi, kenapa ini yang
kuucapkan, bukannya seharusnya aku menceritakan semuanya? Kenapa aku tidak bisa
jujur, Ricko! kamu memang payah.
Nike berdiri
tertegun, mungkin dia tidak menyangka aku akan mengatakan ini, dia saja tidak
pernah menyampaikan perasaannya, apa aku terlalu pede beranggapan dia
menyukaiku? Tidak, memang dia mencintaiku, bukan hal yang sulit untuk memahami
rasa cinta seseorang, ya aku merasakannya.
”Ya, aku memang
sahabatmu kan. Tidak pernah lebih. Aku akan mendengar apapun yang sedang kamu
pikirkan Rick, aku akan selalu ada buat keluh kesah mu, itulah kamu Rick"
jawab Nike dengan tatapannya yang kosong. Tuhan, apa yang sudah aku katakan,
kenapa jadi begini?
"Kamu tidak
pernah memberi kesempatan buatku bicara, setidaknya cobalah kamu mendengarkan
ku... sekali saja, sebelum kamu ucapkan kata-kata yang menyakitkan itu"
ucap Nike dengan begitu dingin, mulutku terkunci, tak ada satu katapun yang
mampu keluar.
"Cobalah untuk
bertindak, jangan terlalu banyak berpikir, setidaknya bersikpalah untuk tidak
jadi pengecut” tiba-tiba Nike berbicara dengan nada yang nggak pernah aku
dengar sebelumnya, apakah dia marah? Apakah dia tersinggung dengan kata-kata
pahitku? Mungkin dia akan membenciku selama-lamanya, aku telah menghancurkan
segalanya, mengorbankan persahabatan kami.
Aku tertegun,
kata-kata Nike “tidak pernah lebih”, membuat hatiku miris mendengarnya. Tuhan,
beginikah rasanya? Aku tau Nike menyukaiku, hal aneh memang bagi cowok, begitu
cewek yang mencoba mengungkap perasaan cintanya. Bagiku kata-kata Nike sudah
mengungkapkan perasaannya.
Hemmm, aku
tersenyum pahit. Tampangku benar-benar menyedihkan, ya, aku bukan cowok yang
baik, aku bukan cowok yang bertanggung jawab, mungkin juga aku adalah cowok
pengecut. Aku tau sejak lama, kalau Nike menyukaiku, menggangapku lebih dari
sahabat. Aku juga tau kalau Nike menunggu saat-saat aku menyatakan cintaku
padanya. Maaf, aku tak bisa memenuhi harapannya.
Aku tidak seperti
yang dia pikirkan. Aku bukan cowok sempurna dengan semua pernak-pernik yang
menghiasku. Aku tau Nike cewek yang begitu menarik di mata cowok-cowok pada
umumnya, tapi aku berbeda, itulah yang akan aku ceritakan padanya, tapi malah
aku mengacaukan segalanya. Agar setidaknya dia bisa move on, melanjutkan
cintanya, mencari yang lebih tepat, atau lebih pas dikatakan untuk
menghilangkan bebanku sendiri. Ya, aku kelihatan egois, memang aku egois.
Tanpa ada
kata-kata, aku mulai berdiri menuju motorku, meninggalkan Nike yang masih
meneteskan air mata, hanya satu kalimat yang terucap,
“Maaf ke, aku
belum siap, aku memang pengecut.”
Nike hanya diam
membisu, tidak ada senyum, tidak ada jawaban. Aku memang cowok paling pengecut
di dunia, benar-benar pecundang.
BERSAMBUNG ....
No comments:
Post a Comment